Sunday, December 19, 2010

Fase

Kira-kira pertengahan tahun 2009 saya kerap tanya sana sini soal kamera. Saat itu saya sedang ngumpulin duit buat beli kamera.

Fase pertama, awalnya pinjem kamera temen dulu, ikutan beberapa lomba yang banyak dijumpai sekarang ini. Tujuan saya ikutan lomba sangat jelas, hadiahnya bisa saya pake buat beli kamera tentunya. Saya sendiri sudah lupa berapa kali ikutan lomba waktu itu, akhirnya setelah gak menang secara berturut-turut, keberuntungan itu dateng juga. Dengan modal kamera pinjeman dari Roy, saya menang sebagai juara pertama lomba fotografi dengan tema "all about china" waktu itu.

Fase kedua, begitu orang tua saya tau kalo saya menang, akhirnya kesampean beli kamera, krediiit.. siih ;D Alhamdullilah cicilannya bisa terbayar berkat kerjaan sampingan saya jadi on-set assistant-nya Laxter. Kemudian pertanyaan mendasar dari setiap orang yang baru mau beli kamera adalah: Beli N apa C yaa? Ah, S juga bagus? Pertanyaan yang sebenernya gampang dijawab, jawaban saya waktu itu adalah sesuaikan sama budget. Well, sebenernya tiap merk punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jangan lupa, mahal, juga salah satu kekurangan bukan? tapi dilain sisi, mahal juga menandakan kalau memang produk nya itu bagus, nah lho? (CMIIW). Untungnya saya punya mentor sebaik Laxter, yang mau ngajarin saya soal basic photography, termasuk gak bosen-bosen jawab pertanyaan konyol seorang amatir tentang berbagai macam fungsi dan fitur yang ada di dalam kamera. Hal yang paling penting adalah bukan seberapa bagus body kamera yang kita punya, tapi seberapa bagus lensa yang kita punya pasti akan berpengaruh pada hasil foto yang didapat. Arbain Rambey (wartawan senior Kompas) pernah berkicau di akun Twitternya, perbedaan harga dalam sebuah body kamera pada dasarnya adalah karena perbedaan bahan untuk membuat body kamera tersebut.

Fase ketiga, setelah beberapa bulan asik jeprat-jepret, upload hasilnya ke banyak tempat, rasanya puas. Kadang malah itu semacam eksistensi diri, semakin banyak hasil yang diupload, kemudian mencari web gallery yang cocok untuk jadi tempat bersarangnya foto-foto saya, mulai dari deviantart, flickr, atau bahkan carbonmade. Semakin puas rasanya bisa menunjukkan kalau saya punya kamera lho! Apalagi kalau foto yg diupload banyak dilihat orang, dilihat saja, senangnya bukan main. Keinginan buat jadi lebih jago motret juga menuntut saya untuk sering lihat-lihat foto orang lain. Perasaan yang tetap muncul sampai sekarang adalah saat lihat foto orang lain, kayaknya itu bagus banget, tapi kalo liat foto sendiri malah biasa-biasa aja.

Fase ke-empat, mulai deh jiwa manusiawi nya keluar, "mencari keburukan" orang lain. Ya memang gak secara frontal disampaikan kepada si empunya foto, tapi arti kata dalam tanda kutip itu adalah membedakan mana yang hasil olahan photoshop dan mana yang masih alami. Kalau ketemu foto yang langitnya berwarna biru yang nggak wajar bisa ditemuin, langsung deh melengos tutup tab foto itu sambil ngucap dalam hati "ah editan!"

Semakin lama belajar motret, semakin ngerti juga akhirnya kalau photoshop diciptakan untuk mempermudah, juga begitu dengan mode A yang ada di setiap kamera. Coba lirik ke blog Ken Kaminesky, lihat beberapa foto yang ada di dalam blog itu, hampir semua akan saya skip jika saya masih punya pikiran seperti dulu, "ah editan!" padahal itu benar-benar luar biasa! "Kamera dibeli mahal-mahal ya disuruh kerja dong!" kira-kira begitu quote dari Arbain Rambey. Ada suatu waktu di dalam satu fase dimana saya benar-benar sudah nggak beda-bedain lagi mana foto yang editan, atau yang bukan. Syukur fase itu masih terus berjalan sampai sekarang, dan saya akan sangat senang jika nantinya bisa menceritakan beberapa fase yang belum saya alami.

"There are always two people in every picture: the photographer and the viewer." ~Ansel Adams



2 comments:

Anonymous said...

Agreed, on:
- Fase2 yg dialami oleh banyak photographer amatiran, termasuk saya.
- Dengan prinsip gw bukan photoshoper, berusaha mengedit foto2 seminim n se natural mungkin
- Mr. Laxter adalah master terbaik, apalagi soal lighting, jempol:)
- Hansel is the best assistant ever, yet a great moment shooter:)

Hansel Mario said...

Oh ya tambahan on Laxter: berbakat juga jadi model, coba liat kalo lagi ngintip ke dalem viewfinder, kadang posenya lebih heboh daripada yg dipotret. hihi