Tuesday, June 2, 2009

Kenangan dari Muara Angke

Roda kehidupan harus tetap berjalan, demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian meningkat seiring dengan berkembangnya zaman. Setiap manusia berusaha dengan gigih memperoleh pekerjaan demi pundi-pundi Rupiah yang dapat dikumpulkan. Apalagi di kota metropolis seperti Jakarta yang notabene adalah detak jantung perekonomian serta, ibukota Negara Indonesia. Tidak terkecuali masyarakat nelayan.

Angin yang bertiup kencang mengiringi keberangkatan para nelayan yang hendak pergi melaut kala itu. Di balik awan mendung mereka memberanikan diri bertaruh pada cuaca yang tidak menentu. Bukan untuk kesenangan, melainkan pekerjaan. Rutinitas itu mereka lakukan selama mereka masih bisa mengais rejeki dari hasil tebaran jaringnya. Meninggalkan kerabat, isteri, dan anak-anak mereka.

Beratapkan sepetak rumah, seorang ibu separuh baya dengan mengenakan daster lusuh duduk terdiam menanti anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama pulang dari sekolahnya. Ibu yang telah menginjak usia hampir setengah abad itu dengan sabar pula menanti kedatangan sang suami yang tengah bekerja membanting tulang mencoba menghidupi keluarga mereka di laut. Ditengah deruan krisis ekonomi seperti saat ini, Ibu asal Palembang ini tidak dapat berbuat banyak membantu sang suami untuk dapat membiayai kebutuhan hidup mereka.

Ibu dengan empat orang anak ini mengaku tidak mendapatkan sertifikat tanah atas rumah yang telah mereka tempati sejak empat dasawarsa yang lalu. Ia hanya mendapatkan setifikat atas bangunan saja. Dengan mengangsur sebesar Rp 6.700 per bulan selama 15 tahun, barulah Mpun memiliki sertifikat atas bangunan tersebut. Memang istri dari seorang nelayan ini telah mengajukan permohonan kredit atas hak tanah dimana ia bernaung sekarang ini, namun keterangan dari pemerintah daerah mengatakan bahwa ia tidak dapat sepenuhnya membeli tanah tersebut tanpa alasan yang jelas.

Dua anak perempuan dari empat orang anaknya kini telah berumah tangga, masing-masing tinggal ke arah sebelah barat kota Jakarta, kota Tangerang dan satu anaknya lagi di bilangan Tanah Merah. Kini Mpun tinggal bersama dua anak, satu telah lulus dari sebuah SMA swasta, dan si bungsu masih mengenyam bangku pendidikan. Anak ketiganya kini tengah menjalani profesi sebagai juru parkir di sebuah Mall di kawasan Grogol. Setelah tamat dari SMU swasta, ia memiliki inisiatif untuk membantu meringankan beban kedua orang tua mereka. Dari penghasilannya menjadi juru parkir, setidaknya ia dapat meringankan beban Mpun dan Sapri, suaminya.

Mpun mengaku, pendapatan yang diperoleh suaminya, Sapri tidaklah seberapa besar. Pria yang lebih tua tiga tahun dari Mpun ini pergi melaut setiap matahari mulai menyentuh cakrawala di ufuk barat. Setiap dinginnya malam ia habiskan di sebuah kapal kecil milik “bos”-nya. Kapal berkapasitas 8 awak kapal itulah yang menjadi transportasi Sapri dalam mengais setiap Rupiah selama 20 tahun terakhir menjadi seorang nelayan.